CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Rabu, 20 Agustus 2008

Skandal BLBI

Judul Buku : Skandal BLBI : Ramai ramai merampok negara.
Penulis : Marwan Batubara et al.

Dalam pengantarnya DR Sri Edi Swasono menulis bahwa skandal BLBI adalah kejahatan bank terbesar di dunia. Ini adalah konspirasi luar biasa antara pejabat pemerintah korup dengan para koruptor yang mendikte mereka. Ini adalah konspirasi global yang berupaya melemahkan Indonesia dan membuka jalan bagi pendudukan teritorial dan mengeksploiasi kekayaan Indonesia.

Rekrutmen politik yang bersifat nepotistik dan korup berakibat kepemimpinan nasional diisi oleh individu medioker. Akibat selanjutnya kepemimpinan nasional Indonesia lemah. Banyak dari mereka bahkan menderita rasa rendah diri. Kondisi ini membuka jalan bagi kekuatan imperialistik dari luar untuk merampok negara.

Rangkaian kebijakan bunuh diri dimulai pada 1997 ketika pemerintah menerima tekanan IMF untuk menutup enambelas bank. Kebijakan ini mengakibatkan ketidakpastian dan panik sehingga ada penarikan dana besar besaran dari bank. Akibatnya neraca bank bank di Bank Indonesia menjadi negatif. Presiden Suharto tidak punya pilihan kecuali menyetujui Bank Indonesia menerbitkan obligasi khusus untuk bank bank. Tapi upaya ini sia sia. Sekali lagi dia terpojok. Di tengah tengah krisis, pemerintah memberikan Bantuan Likuidtas bank Indonesia untuk menyelamatkan bank bank.

Tahap pertama dikucurkan 144,536 trilyun rupiah lalu meningkat menjadi 166,536 trilyun rupiah. Kemudian ada keputusan Presiden nomor 26/1998 tentang jaminan pemrintah untuk membayar semua kewajiban bank senilai 57,779 trilyun rupiah. Setelah itu pemerintah menciptakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional untuk menangani jaminan bank. Tahap ketiga adalah ketika pemerintah menandatangani Master Settlement and Acquisition Agreement. Ini bertentangan dengan logika, keadilan dan sistem hukum Indonesia. Release and discharge menyepelekan aupremasi hukum pidana atas hukum perdata. Ia menabrak hukum perbankan Indonesia tentang bank.

Pendeknya otoritas moneter Indonesia gagal melawan tekanan IMF sehingga memperburuk situasi. Kebijakan mereka bukan untuk kepentinagn Indonesia tapi untuk kepentingan mereka sendiri.

Marwan Batubara menulis analisis komprehensif tentang skanal BLBI dalam bab bab berikutnya. Pertama dia menulis tentang definisi dan pengertian BLBI. Lantas tentang latar belakang dan kronologinya. Kemudian tentang korupsi dan penyalahgunaan di baliknya. Setelah itu tentang inkonsistensi penegakan hukum. Lalu tentang siapa yang harus bertanggung jawab. Kemudian tentang cara cara menyelesaikan masalah ini.

Soedradjat Djiwandono mantan gubernur Bank Indonesia mendefinisikan BLBI sebagai fasilitas yang diberikan BI untuk menjaga stabilitas sistem pembayaran dalam sistem perbankan agar tidak kacau oleh mismatch antara penarikan dan penghasilan dalam jangka pendek maupun panjang. Ada fasilitas diskon, valas dan overdraft.

Bantuan ini diberikan menyusul krisis moneter di tahun 1997 yang diberikan dalam beberapa tahap. Pertama pada saat krisis ada 54 bank yang diberi bantuan senilai 144,536 trilyun rupiah. Kedua dari Februari 1999 sampai Mei 1999, ada tambahan senilai 14,447 trilyun rupiah. Ketiga, ada yang dinamakan "blanket guarantee". Pada Mei 1999 pemerintah menerbitkan obligasi rekapitalisasi senilai 431,6 trilyun rupiah. Termasuk bunganya jumlah total bisa mencapai 1031 trilyun rupiah.

Tapi ada korupsi dan penyalahgunaan dana BLBI. BPK menemukan penyalahgunaan dan korupsi dana BLBI. Kerugian negara mencapai 138,4 trilyun rupiah atau 95,8% dalam penyaluran dana dan 84,82 trilyun rupiah atau 58,7% dalam penggunaan dana.

Penegakan hukum inkonsisten dan tidak adil. Penyelesaian kewajiban pemegang saham mengabaikan dan tidak menghormati hukum. Release and discharge adalah penghinaan kepada supremasi hukum. R&D adalah instruksi Presiden untuk melepaskan obligor BLBi jika mereka membayar tunai 30% saja kewajiban mereka dan 70% nya dengan sertifikat. Presiden menginstruksikan jaksa agung untuk menghentikan penyidikan. R&D bertentangan dengan hukum Indonesia. Instruksi ini melanggar prinsip kesetaraan di depan hukum karena is memberikan kebebasan kepada kriminal. Ini juga intervensi eksekutif kepada kekuasaan judikatif.

Mekanisme penyelesaian kewajiban pemegang saham dilakukan dengan out of court settlement. Ada tiga pola : Master Settlement and Acquisition Agreement, Master Refinancing and Notes Isuance Agreement dan Akte Pengakuan Utang (APU. MSAA adalah penyerahan aset dari pemegang saham ke BPPN. Aset yang diserahkan harus setara dengan hutangnya, tanpa personal guarantee. MRNIA adalah penyerahan aset dari pemegangs saham kepada BPPN yang nilainya tidak sama dengan hutangnya, dengan personal guarantee sejumlah yang sama dengan sisanya. APU adalah kesepakatan antar pengutang dengan BPPN untuk menyelesaikan hutangnya dengan jaminan.

Perjanjian pertama ditandatangani oleh mentri keuangan pada 21 September 1998, tapi pada saat itu tidak ada dasar hukumnya. Kemudian pemerintah menerbitkan beberapa peraturan tapi tetap saja tidak ada peraturan tegas.

Inpres no 8/2002 memberikan surat lunas kepada 21 obligor karena mereka sudah memberikan aset. Hutang mereka sejumlah 96,6 trilyun rupiah. tapi kemudian ditemukan bahwa aset mereka fiktif. empat bank tidak menerima surat lunas. Hutang mereka sejumlah 23,8 trilyun rupiah. Tingkat pengembalian mereka hanya 9,75%.

Sampai sekarang ada delapan obligor yang penyelesiananya diserahkan ke BPPN, 30 obligor penyelesaiannya diserahkan ke polisi dan jaksa agung, dan masih lebih banyak lagi yang terlibat. Ada 65 tersangka tapi hanya 16 yang diadili. Dari enambelas orang ini, tiga orang bebas, dua dihukum empat dan delapan tahun, lima orang dihukum seumur hidyp dan lima tahun tapi mereka lari ke luar negri. Ada delapan orang yang lari ke luar negri. Berdasar fakta ini Marwan Batubara berkesimpulan bahwa kejaksaaan agung tidak serius dan tidak transparan. Vonis juga menimbulkan kecurigaan bahwa ada korupsi judisial.

Institusi judisial telah menghasilkan keputusan yang tidak adil dan mereka tidak serius dalam menangani kasus BLBI. Ada delapanpuluh pejabat BI yang mengabaikan pengawasan dan tindakan tegas dan tindakan preventif sudah diperiksa kejaksaan agung tapi hanya tiga yang diadili. Mereka dihukum tiga tahun dan 2,5 tahun penjara. Di tingkat mahkamah Agung mereka dihukum 1,5 tahun penjara.

Inpres no 22/2002 adalah puncak segala ketidakadilan. Ia hanya berfokus pada pengembalian aset tapi mengabaikan aspek penegakan hukum. Ia juag melanggar prinsip kesetaraan di depan hukum dan pemisahan kekuasaan karena ia mengintervensi kekuasaan judisial.

Presiden menginstruksikan menko ekonomi, menkum dan HAM, meneg BUMN, jaksa agung, kapolri, dan kepala BPPN untuk mengambil langkah yang perlu untuk menyelesaikan kewajiban pemagang saham sesuai dengan MSAA, MRNIA dan surat hutang. Mereka yang sudah menyelesaikan kewajibannya diberi surat lunas. Mereka yang dalam proses penyelesaian akan diberi waktu untuk menyelesaikan kewajiban mereka. Mereka yang tidak mau menyelesaikan kewajiban dalam batas waktu akan diberi tindakan tegas, yang akan dikoordinasikan oleh ketua BPPN, kapolri, dan jaksa agung. Tapi penyedikan aspek pidananya dihentikan. Mereka dianggap sudah melaksanakan kewajiban mereka meskipun hanya membayar 30% dari hutang mereka dan akan membayar sisanya sdengan emnyerahkan aset mereka. Jaksa agung lantas menghentikan penyidikan atas sepuluh tersangka kasus BLBI karena mereka diberi surat lunas oleh BPPN.

Inpres itu jelas melanggar UUD 45, tap MPR, UU no 31/1999 tentang pembrantasan korupsi, UU no 8 tentang hukum acara pidana, UU no 5/1991 tentang kejaksaan agung, KUHP, prinsip kesetaraan di depan hukum dan prinsip kepastian hukum.

Obligasi rekapitalisasi adalah sebuah jalan sistematis untuk mencuri uang rakyat. Kebijakan ini dimaksudkan untuk membuat bank pulih dari krisis likuiditas. Tapi ada beberapa penyalahgunaan. Penyalahgunaan pertama adalah obligasi pemerintah. IMF menekankan bahwa pemerintah harus memberi obligasi untuk meningkatkan rasio kecukupan modal dan ekuiti bank. Kwik Kian Gie mengatakan bahwa hal ini tidak logis karena pemerintah yang sudah membantu mereka malah dihukum dengan membayarmereka memakai obligasi. Karena itu hal ini adalahpenyalahgunaan. pemerintah harus membayar trilyunan rupiah untuk bunganya plus ratusan trilyun rupiah sampai tahun 2021.

Penyalahgunaan kedua adalah obligasi itu tidak ditarik meskipun bank sudah sehat. Penyalahgunaan ketiga adalah obligasi tidak ditarik ketika bank dijual. Penyalahgunaan keempat adalah penjualan bank tidak transparan. Penyalahgunaan kelima adalah bank tetap dijual walaupun harganya minimum tidak dicapai.

Di tahun 2002/2003 dari total hutang dalam negri sejumlah 643 trilyun, beban pembayaran obligasi adalah dua pertiganya, dan seperempatnya datang dari kebijakan BLBI. Ini adalah kesalahan san sebuah beban berat. Di tahun 2004 pembayaran bunga adalah 62,486 trilyun, terdiri dari 24,375 trilyun untuk pinjaman asing dan 38,111 trilyun untuk hutang dalam negri. ini adalah 101,68% dari anggaran pembangunan.

Sampai Mei 2004 pemerintah sudah mengeluarkan 640 trilyun rupiah. Akibatnya setiap tahun pemerintah harus membayar sekitar 40-50 trilyun rupiah.

Siapa yang harus bertanggung jawab ?

Pertama kali adalah para obligor BLBI. Setelah itu mantan Presiden Suharto dan para mentrinya. Lantas para pejabat BI. Kemudian BPPN. Lalu mantan Presiden Megawati dan mentrinya karena memberikan release and discharge kepada obligor. Lalu IMF karena mendikte Indonesia untuk mengambil kebijakan bunuh diri seperti melikuidasi bank, kebijakan keuangan ketat, privatisasi BUMN, dan rekapitalisasi bank. Singkatnya kebijakan yang didekte IMF bukan untuk kepentingan Indonesia tapi untuk kepentingan mereka.

Kejahatan Obligor.

Ada beberapa cara manipulasi dan penyalahgunaan BLBI. Pertama mereka memanipulasi laporan keuangan sehingga sulit diketahui kondisi nyata bank mereka. manipulasi paling umum adalah dengan memanipulasi transaksi untuk menghindari batas pinjaman. Kedau adalah dengan memakai dana BLBI untuk kepentingan kelompok bisnis mereka. Mereka memberi 20,36 trilyun kepada kelompok mereka. Lalu ada kecurigaan bahwa mereka membeli dollar AS sehingga melemahkan rupiah. Mereka juga menggelembungkan jumlah uang yang ditarik dari masyarakat. Mereka juga memanipulasi hutang mereka ke dalam dollar AS sehingga mereka bisa mengklaim pemerintah untuk membayar hutang mereka berdasarkan Frankfurt Agreement. Mereka mengambil manfaat dari suku bunga BI yang tinggi dengan menarik uang mereka dari luar negri untuk didepositokan. Investasi ini sangat menguntungkan.

Di tahap pelunasan mereka memakai aset palsu dan nilainya di bawah hutang mereka. Total jaminan yang mereka serahkan ke BPPN adalah 132,77 trilyun rupiah tetapi nilai komersialnya hanya 12,29 trilyun rupiah. Ini berarti nilai mark up adalah 120,5 trilyun rupiah. Kenyataannya pengambilalihan aset adalah menipu karena majemen aset itu tetap di tangan mereka.

Peran Bank Indonesia dan BPPN.
Kebijakan Bi adalah temporer, individual, subyektif dan tidak menentu. Mereka tidak tegas dalam penegakan hukum. Kebijakan mereka tidak transparan. BI memberi BLBI kepada bank yang melanggar hukum berbankan. Di samping itu, pejabat BI memberikan 100 milyar kepada DPR untuk mengamandemen hukum BI.

BPPN tidak menerapkan prinsip hati hati dalam mengelola aset obligor. Mereka salah dalam penilaian aset, ketika mereka memberi trilyunan rupiah obligasi pemerintah ke bank tanpa kontrol yang cukup untuk memastikan pengembaliannya, dan ketika mereka menjual aset obligor dengan harga sangat murah. Kinerja mereka sangat buruk dalam penyelesaian kewajiban obligor, penyelesaian kewajiban perbankan seperti kredit macet, dan dalam divestasi saham pemerintah di bank untuk mengembalikan uang negara.

Peran IMF dalam kasus BLBI

Pada Oktober 1997 IMF setuju mengucurkan 9,709 milyar dolar kepada pemerintah dengan beberapa syarat. Pemerintah harus mengimplementasikan reformasi ekonomi seperti privatisasi, mengurangi subsidi, liberalisasi keuangan, dan perombakan perbankan. Intervensi IMF dalam kebijakan ekonomi Indonesia tidak hanya dalam sektor finansial tapi juga di sektor lain seperti dalam pengembalian aset, privatisasi BUMN, investasi dan deregulasi dan perdagangan internasional, bahkan keamanan sosial, desentralisasi, reformasi hukum dan lingkungan. Kebijakan keuangan ketat membuat ekonomi mengalami stagnasi. Akibatnya berat - ekonomi Indonesia mengalami penurunan. Likuidasi bank mengakibatkan masyarakat panik dan mengambil uangnya dari bank. Akibatnya mereka menderita krisis likuiditas dan membutuhkan bantuan. IMF, Bank Dunia, dan ADB menekan pemerintah untuk mengambilalih hutang luar negri perusahaan sebanyak 1099 milyar dolar atau sekitar 9,8 trilyun rupiah. Kebijakan ini berakibat melemahnya rupiah yang akibat selanjutnya memperlemah kemampuan sektor swasta membayar hutang luar negri mereka.

Kebijakan terburuk yang didekte IMF adalah ketika pemerintah memberikan obligasi rekap bank. IMF menyatakan bahwa bank bank membutuhkan rasio kecukupan modal paling tidak 8% untuk tetap sehat. Lalu pemerintah memberikan 431,6 trilyun plus bunganya yang harus dibayar setiap tahun. Jumlah total bunga, jika dibayar tepat waktu, adalah 600 trilyun rupiah. Sehingga jumlah semuanya akan menjadi 1031 trilyun rupiah. Akibatnya negara harus menanggung beban berat. Anggaran negara harus membayar 40-50 trilyun rupiah setiap tahun.

IMF juga memaksa pemerintah menjual bank yang sudah direkap. Waktu yang sangat pendek membuat harganya menjadi sangat murah. Terjadilah kerugian pemerintah yang sangat besar karena sudah mengeluarkan uang sangat banyak unbtuk memodali kembali lantas dijual dengan sangat murah. Privatisasi atau penjualan bank ini adalah salah satu fokus kebijakan yang didesak imF. Setelah mendesak penjualan bank, hubert Neiss, mantan dirtektur IMF untuk Asia pasifik justru berbalik menjadi konsultan Farallon Capital yang kemudian sukses memenangkan tender BCA denagn harga murah, hanya Rp1775,- per lembar saham atau hanya sekitar 5,3 trilyun rupiah. Saat dijual BCA masih punya obligasi rekap sebesar 60,9 trilyun. Artinya pemilik baru setiap tahun akan mendapat penghasilan bunga obligasi sebesar 9 trilyun. Proses penjualannya juga tidak transparan, hanya kepada beberapa calon pembeli potensial yang disebut strategic partner.

Kwik Kian Gie menulis kesaksiannya yang intinya sama seperti paparan Marwan di atas. Frans hendra Winarta juga tidak ketinggalan menulis yang senada tentang beberapa kejanggalan dan penyimpangan MSAA. Ahmad Erani Yustika, Fadhil Hasan, Hendri Saparini dan Aviliani juga menulis analisis serupa tentang berbagai kesalahan dan peyimpangan BLBI dalam bab 16.

Dalam bab akhir Marwan Batubara menuntut pemerintah, DPR, dan institusi penegak hukum melaksanakan sepuluh langkah.
1. Menuntaskan penyelesaian kasus BLBI secara hukum dengan proses yang obyektif, adil dan berpihak pada kepentingan publik.
2. mencabut inpres no 8/2002 an meninjau ulang seluruh kebijakan terkait BLBI yang tidak adil.
3. Menuntut IMF bertanggung jawab atas kebijakan yang merugikan Indonesia.
4. menciptakan terobosan untuk mempercepat proses penyelesaian kasus BLBI dengan pengadilan ad hoc dengan pembuktian terbalik.
5. Mendesak jaksa agung segera menuntaskan skandal korupsi BLBI dan menyeret palkunya ke pengadilan.
6. Menyita aset obligor yang sampai sekarang tidak menyelesaikan kewajibannya.
7. mengusut tuntas dan mengadili penyimpangan mulai pembuatan kebijakan, pelaksanaan pengucuran, hingga penggunaan BLBI.
8. mengupayakan seoptimal mungkin pengembalian uang negara yang telah terkucur melalui BLBI ke sektor perbankan.
9. Menghentikan subsidi bagi perbankan dengan menghentikan pembayaran obligasi rekap.
10. Menghentikan divestasi saham pemerintah pada obligasi rekap sampai obligasi rekap yang beraa di bank bisa ditarik sepenuhnya.

0 comments: